Sejarah Bencana Di Daerah Istimewa Yogyakarta

Sejarah bencana yang pernah terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan bencana alam dan non alam serta bencana sosial akibat ulah manusia. Terdapat 10 potensi bencana yang teridentifikasi berdasarkan sejarah kejadiannya. Berikut akan kami paparkan potensi bencana di DIY

data-bencana-2
Tabel Potensi Bencana DI Yogyakarta
data-bencana
Tabel Catatan Data Bencana di Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1885-2011

 

1. Banjir

Dari data di atas, bencana banjir ataupun banjir disertai tanah longsor terjadi sebanyak 34 kali kejadian, menimbulkan 2 orang meninggal, 5 orang luka luka, 869 orang mengungsi. Dari segi kerugian fisik tercatat ada 139 rumah rusak berat.

Banjir terjadi di samping karena faktor alam juga disebabkan faktor manusia seperti pembuangan sampah yang sembarangan ke dalam saluran air (selokan) dan badan air sungai yang menyebabkan selokan dan sungai menjadi dangkal sehingga aliran air terhambat dan menjadi meluap dan menggenang. Selain itu, kurangnya daya serap tanah terhadap air karena tanah telah tertutup oleh aspal jalan raya dan bangunan-bangunan yang jelas tidak tembus air, sehingga air tidak mengalir dan hanya menggenang. Rendahnya daya serap tanah dapat disebabkan ulah penebang-penebang pohon di hutan yang tidak menerapkan sistem reboisasi (penanaman pohon kembali) pada lahan yang gundul, sehingga daerah resapan air sudah sangat sedikit. Faktor alam lainnya adalah karena curah hujan yang tinggi dan tanah tidak mampu meresap air, sehingga luncuran air sangat deras.

Daerah potensi banjir tinggi terdapat di Kabupaten Bantul (Kecamatan Kretek) dan Kabupaten Kulon Progo (Kecamatan Temon, Lendah), sedangkan potensi banjir sedang berpotensi terjadi di daerah Kabupaten Sleman (Kecamatan Minggir, Prambanan), Kabupaten Bantul (Kecamatan Jetis, Pandak, Pajangan), Kabupaten Kulon Progo (Kecamatan Nanggulan, Pengasih, Temon, Kalibawang).

Ada juga banjir yang terjadi di Wilayah Kota Yogyakarta. Banjir tersebut terjadi di muara Sungai Opak dan Sungai Progo pada saat awal musim hujan karena di muara sungai tersebut masih terdapat sand bar yang menghalangi masuknya air sungai ke laut. Sand bar itu sendiri terjadi karena proses marin oleh tenaga angin yang dipengaruhi oleh angin pasat tenggara sehingga umumnya sungai-sungai yang bermuara di Pantai Selatan ini berbelok ke arah Barat.

Banjir yang terjadi di Kota Yogyakarta lebih disebabkan oleh luapan saluran/gorong-gorong kota yang tidak mampu menampung debit air hujan karena semakin bertambahnya nilai koefisien resapan tanah yang pada saat sekarang ini bidang resapan semakin berkurang oleh dampak konversi lahan.

Keadaan semakin diperparah oleh kesadaran yang rendah terhadap lingkungan oleh masyarakat yang tinggal di bantaran sungai dengan membuang sampah yang dapat membuat dangkal dan sempit saluran/gorong-gorong tersebut.

Sedangkan banjir di daerah yang berbatuan gamping seperti halnya di Kabupaten Gunungkidul hanya terjadi di sekitar teras banjir dan bantaran sungai dan ledokan-ledokan karena permeabilitas tanah di daerah ini kecil sehingga lambat dalam meresapkan air hujan. Air hujan biasanya diresapkan ke dalam tanah oleh sistin kekar/joint di batuan gamping tersebut dan akan menuju ke sungai bawah tanah yang banyak terdapat di wilayah Kabupaten Gunung Kidul.

2. Epidemi dan Wabah Penyakit
Bencana epidemi dan wabah penyakit merupakan ancaman bencana yang diakibatkan oleh menyebarnya penyakit menular yang berjangkit di suatu daerah tertentu dan waktu tertentu. Pada skala besar, epidemi/wabah/KLB dapat mengakibatkan meningkatnya jumlah  penderita penyakit dan korban jiwa.

Penyebaran penyakit pada umumnya sangat sulit dibatasi, sehingga kejadian yang pada awalnya merupakan kejadian lokal dalam waktu singkat bisa menjadi bencana nasional yang banyak menimbulkan korban jiwa dan sudah masuk kategori wabah. Kondisi lingkungan yang buruk, perubahan iklim, makanan dan pola hidup masyarakat yang kurang peduli terhadap kesehatan dan lingkungan merupakan beberapa faktor yang dapat memicu  terjadinya bencana ini.

Dari tabel potensi bencana di DIY dapat dilihat bahwa bencana epidemi dan wabah penyakit telah menelan korban 16 jiwa. Daerah berbahaya potensi bencana epidemi dan wabah penyakit tersebar di Kabupaten Sleman (Kecamatan Mlati, Gamping, Sleman, Ngaglik, Depok, dan Kalasan, Kabupaten Bantul (Kecamatan Kasihan, Sewon, Banguntapan, Kretek), Kabupaten Gunung Kidul (Kecamatan Ponjong), dan Balaikota Kotamadya Yogyakarta.

3. Gelombang Ekstrem dan Abrasi
Bencana gelombang ekstrim dan abrasi terjadi satu kali dengan mengakibatkan 59 rumah rusak ringan di Bantul tahun 2007.

4. Gempa bumi
Catatan sejarah menyebutkan bahwa gempa besar sering terjadi di DIY di masa lalu. Tahun 1867 tercatat pernah terjadi gempa besar yang menyebabkan kerusakan besar terhadap rumah – rumah penduduk, bangunan kraton, dan kantor – kantor pemerintah kolonial. Gempa lainnya terjadi pada 1867, 1937,1943, 1976, 1981, 2001, dan 2006 . Namun gempa dengan jumlah korban besar terjadi pada 1867, 1943 dan 2006.

Gempa bumi 27 Mei 2006 terjadi karena lempeng Australia yang bergerak menunjam di bawah lempeng Eurasia dengan pergerakan 5-7 cm tiap tahunnya. Episentrum diperkirakan terjadi di muara S. Opak-Oyo. Provinsi DIY diapit oleh 2 sistem sungai besar yang merupakan sungai patahan dilihat dari morfologinya yaitu; S. Opak-Oya, dan S. Progo. Sehingga gempa bumi mampu mereaktivasi patahan pada sungai tersebut sehingga dampaknya dapat dilihat pada tingkat kerusakan tinggi “collaps” pada jalur sungai tersebut dari muara di bibir Pantai Selatan Jawa ke arah memanjang ke arah Timur Laut sampai ke daerah Prambanan.

Pusat gempa diperkirakan di pinggir pantai selatan Yogyakarta atau bagian selatan Kabupaten Bantul dengan kedalaman 17 km – 33 km di bawah permukaan tanah. Gempa tersebut dirasakan tidak hanya di wilayah Provinsi DIY tetapi juga beberapa wilayah di Provinsi Jawa Tengah Bagian Selatan. Akibat gempa di beberapa wilayah, khususnya bagian Selatan Provinsi DIY mengalami kerusakan yang cukup parah baik kerusakan bangunan maupun infrastruktur lainnya. Setelah dilakukan kajian lapangan, ternyata gempa bumi disebabkan adanya gerakan sesar aktif di Provinsi DIY yang kemudian disebut dengan Sesar Kali Opak.

Daerah di sepanjang S. Progo juga patut diwaspadai karena sungai tersebut juga secara morfologi merupakan sungai hasil dari proses patahan. Kemungkinan jika terjadi gempabumi yang episentrumnya dekat dengan zona patahan S. Progo tersebut dan jika memiliki magnitudo cukup kuat dapat juga akan tereaktivasi seperti halnya pada jalur S. Opak-Oyo dengan tingkat kerusakan yang tinggi.

Leave a comment